wijii03-yeppo.blogspot.com
Sebuah kisah dari
novel yang dilukiskan oleh Tere Liye mengharu biru membacanya. Kalau aku
membaca seperti melihat rekaman videoku masa lalu dalam versi yang berbeda tetapi
hampir sama alurnya. Tragis.. hehe lebay..
Suatu saat aku pernah dikasih nasehat sama temen, “jangan
banyakin baca novel nanti jadi lebay”. Oke2 mungkin memang lebay, sensitif tapi
aku banyak belajar dari setiap cerita yang dilukiskan oleh pengarang dan
tentunya alur ceritanya pun tidak sembarang dilukiskan. Aku yakin itu pasti
refleksi kehidupan seseorang atau bahkan pengarang itu sendiri. Dari itu banyak
hikmah, inspirasi yang kita dapatkan pasti itu. Aku jadi teringat kuliah
semester lalu membahas penelitian sastra. Benar juga banyak nilai-nilai
pendidikan yang bisa kita dapatkan dari mempelajari suatu sastra. Aku pun akan
membuktikan semester ini (Insya Allah) agar orang jadi semakin suka dan
berminat dalam dunia sastra. ^^
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Tidak semua
orang mau memahami makna pada kalimat itu. Tapi aku bukan salah seorang itu
karena dari membaca kalimatnya saja aku penasaran ingin memahami dulu dari
versiku baru membaca isi bukunya. Alhasil, bener dan aku seperti aku dalam
cerita itu tapi ya gak 100%. ^^
Kisah Tania, Dede, Ibu, dan Danar lalu di akhir cerita
bermunculan tokoh Ratna, Jhony Chan, Anne, Adi. Kalimat itu terucap dari bibir
Danar ketika Tania dan Dede ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya saat di
pemakaman. Usia yang masih belia Tania 13 tahun dan adeknya 8 tahun.
“Ketahuilah, Tania dan
Dede . . . . Daun yang jatuh tak pernah
membenci angin . . . . Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak
melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami
kalimat itu. . . . Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya . . . . Dan
saat kau tahu apa artinya semua ini akan terlihat berbeda. . . . . “
Kalimat itu terjawab 8
tahun tepat hari meninggalnya Ibu Tania dan semuanya sudah berbeda sudah
terlihat berbeda dengan yang dulu. Dede memulai upacara nonformal tersebut yang
dihadiri Tania, Dede, Danar, Ratna, dan Adi.
“Dede dulu tak mengerti
apa maksudnya (daun yang jatuh tak pernah membenci angin). Kalimat itu bahkan
terdengar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya.
Ibu … Dede hanya berpikir ibu pergi karena tak sayang lagi dengan Dede. Yang
bandel, selalu malas disuruh, hanya main melulu. Dede tahu ibu dulu selalu
saying Kak Tania. Jadi tak mungkin Ibu pergi karena Kak Tania.”
“Dede ternyata keliru…
Ibu pergi bukan karena tak sayang lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan
sesuatu….”
“Bahwa hidup harus
menerima… penerimaan yang indah.
Bahwa hidup harus mengerti… pengertian
yang tulus. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman
yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu
datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
“Kami kecil sekali saat
Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan. Takut becermin pada masa lalu
yang getir.
“Ibu benar….Tak ada yang
perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana
mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami
akan mengerti, kami akan memahami,… dan
kamu akan menerima.”
Begitulah bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin
meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
>>> selebihnya
silakan baca Novelnya yaa jangan sampai ketinggalan ^^
(15 Januari 2013 23:30
WIB) ditulis waktunya WIB karna bisa jadi suatu saat aku menulisnya bukan WIB.
WITA, maupun WIT tapi yang lainnya. Amiin
#Imtiyaz_Umaimah09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar