Jumat, 25 Januari 2013

The falling leaf doesn’t hate the wind (Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin)


wijii03-yeppo.blogspot.com

Sebuah kisah dari novel yang dilukiskan oleh Tere Liye mengharu biru membacanya. Kalau aku membaca seperti melihat rekaman videoku masa lalu dalam versi yang berbeda tetapi hampir sama alurnya. Tragis.. hehe lebay..
            Suatu saat aku pernah dikasih nasehat sama temen, “jangan banyakin baca novel nanti jadi lebay”. Oke2 mungkin memang lebay, sensitif tapi aku banyak belajar dari setiap cerita yang dilukiskan oleh pengarang dan tentunya alur ceritanya pun tidak sembarang dilukiskan. Aku yakin itu pasti refleksi kehidupan seseorang atau bahkan pengarang itu sendiri. Dari itu banyak hikmah, inspirasi yang kita dapatkan pasti itu. Aku jadi teringat kuliah semester lalu membahas penelitian sastra. Benar juga banyak nilai-nilai pendidikan yang bisa kita dapatkan dari mempelajari suatu sastra. Aku pun akan membuktikan semester ini (Insya Allah) agar orang jadi semakin suka dan berminat dalam dunia sastra. ^^
            Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Tidak semua orang mau memahami makna pada kalimat itu. Tapi aku bukan salah seorang itu karena dari membaca kalimatnya saja aku penasaran ingin memahami dulu dari versiku baru membaca isi bukunya. Alhasil, bener dan aku seperti aku dalam cerita itu tapi ya gak 100%. ^^
            Kisah Tania, Dede, Ibu, dan Danar lalu di akhir cerita bermunculan tokoh Ratna, Jhony Chan, Anne, Adi. Kalimat itu terucap dari bibir Danar ketika Tania dan Dede ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya saat di pemakaman. Usia yang masih belia Tania 13 tahun dan adeknya 8 tahun.
“Ketahuilah, Tania dan Dede . . . . Daun yang jatuh tak pernah membenci angin . . . . Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu. . . . Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya . . . . Dan saat kau tahu apa artinya semua ini akan terlihat berbeda. . . . . “
Kalimat itu terjawab 8 tahun tepat hari meninggalnya Ibu Tania dan semuanya sudah berbeda sudah terlihat berbeda dengan yang dulu. Dede memulai upacara nonformal tersebut yang dihadiri Tania, Dede, Danar, Ratna, dan Adi.
“Dede dulu tak mengerti apa maksudnya (daun yang jatuh tak pernah membenci angin). Kalimat itu bahkan terdengar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya. Ibu … Dede hanya berpikir ibu pergi karena tak sayang lagi dengan Dede. Yang bandel, selalu malas disuruh, hanya main melulu. Dede tahu ibu dulu selalu saying Kak Tania. Jadi tak mungkin Ibu pergi karena Kak Tania.”
“Dede ternyata keliru… Ibu pergi bukan karena tak sayang lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu….”
“Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang tulus. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
“Kami kecil sekali saat Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan. Takut becermin pada masa lalu yang getir.
“Ibu benar….Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami,… dan kamu akan menerima.”

            Begitulah bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

>>> selebihnya silakan baca Novelnya yaa jangan sampai ketinggalan ^^
(15 Januari 2013 23:30 WIB) ditulis waktunya WIB karna bisa jadi suatu saat aku menulisnya bukan WIB. WITA, maupun WIT tapi yang lainnya. Amiin
#Imtiyaz_Umaimah09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar