Kalau ada seorang sahabat yang ahli ibadah, faqih, dan masuk
Islam sebelum ayahnya lalu hijrah sebelum penakhlukan Mekah, ia adalah Abdullah
bin Amr bin Ash. Abdullah telah ditakdirkan Allah menjadi seorang yang suci dan
rajin beribadah. Apabila tentara Islam maju perang untuk menghadapi orang-orang
musyrik, maka ia akan berada di barisan terdepan. Namun, ketika perang telah
usai, ia akan ditemui di mana lagi, kalau tidak masjid atau mushola rumahnya. Hidupnya
tak pernah luput dari beribadah kepada Allah, siang malam tak akan terlewatkan
dengan dzikrullah, puasanya tak akan pernah tertinggal termasuk sholat
malamnya.
Kalau kita menilik ke belakang,
Abdullah ini merupakan salah satu di antara 3 orang Qurays yang menyusahkan
Rasulullah sehingga Rasulullah Saw. berdoa dan memohon Allah untuk mengazabnya.
Tiba-tiba saat Rasulullah berdoa turunlah wahyu Q.S. Ali’ Imron ayat 128,
“Itu bukan menjadi urusanmu
(Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena
sesungguhnya mereka orang-orang yang zalim.”
Setelah
itu di antara 3 orang tersebut, salah satunya diterima tobatnya. Ia adalah
Abdullah bin Amr bin Ash dan saat sudah masuk Islam, ia sangat berlebihan dalam
beribadah sampai suatu hari Rasulullah memanggilnya, dan menasihatinya agar
tidak berlebihan dalam beribadah. Rasulullah SAW bertanya, "Kabarnya
engkau selalu puasa di siang hari tak pernah berbuka, dan shalat di malam hari
tak pernah tidur? Cukuplah puasa tiga hari setiap bulan!"
Abdullah
berkata, "Saya sanggup lebih banyak dari itu."
"Kalau
begitu, cukup dua hari dalam seminggu."
"Aku
sanggup lebih banyak lagi."
"Jika
demikian, baiklah kamu lakukan puasa yang lebih utama, yaitu puasa Nabi Daud,
puasa sehari lalu berbuka sehari!"
Rasulullah
terus menasihatinya agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadah sambil
membatasi waktu-waktunya. Kebetulan Abdullah datang bersama bapaknya lalu Rasulullah
mengambil tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan bapaknya.
"Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah bapakmu!" pesan
Rasulullah SAW. Dan sepanjang usianya, sesaat pun Abdullah tidak lupa akan
kalimat pendek itu.
Hingga
saat perang shiffin dengan terpaksa Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti kemauan ayahnya
tapi ia berjanji tidak akan membunuh sesama muslim. Ketika usianya mencapai 72
tahun, saat ia sedang berada di musholanya, beribadah dan bermunajat. Tiba-tiba
ada suara memanggil untuk melakukan perjanalan jauh, yaitu perjalanan abadi
yang takkan pernah kembali. Abdullah bin Amr wafat dan menyusul mereka yang
telah mendahuluinya menghadap Ilahi. Beliau wafat dengan senyum yang
tersungging di bibirnya yang menandakan jiwa tenang saat menghadapi sakaratul
maut. Subhanallah.